Patah yang paling patah
Hari itu sore tanggal 23 Juni 2020, Abang saya menelvon katanya Ibu masuk rumah sakit karena mual dan muntah2. Ibu saya memang sering mengeluh mual dan muntah, tapi biasanya minum obat besoknya akan sembuh seperti sedia kala.
Selepas magrib saya berangkat ke rumah sakit. Ibu saya terbaring lemas dengan infus di tangannya. Dia mengeluh susah bicara. Saya menyarankan agar istirahat saja mungkin pengaruh obatnya. Tak berapa lama Ibu saya muntah. Dan saya tidak kuat mendengarnya. Entah kenapa dari dulu setiap mendengar/melihat ada yang muntah saya pun akan ikut berasa muntah.
Beberapa x Ibu saya muntah dan akhirnya saya benar2 tidak sanggup melihatnya. Saya pergi ke kamar kecil untuk muntah juga. Saya langsung menelvon kakak saya meminta agar kakak cepat datang, karena saya tidak sanggup melihat Ibu muntah. Saya tidak mampu menemani Ibu. Saat saya kembali ke kamar Ibu saya, Ibu sedang lemas2nya. Saya bantu mengurut badannya berharap agar hilang sakitnya.
Jam menunjukkan pukul 22.00 dan Ibu masih terlihat tidur karena lemas seharian muntah. Saya tidak tega untuk pamit pulang. Karena saya pikir Ibu lebih baik istirahat saja. Esok saya akan kembali lagi.
Tanggal 24 Juni pukul 00.30 kakak saya menelvon, mengabarkan saya harus ke rumah sakit karena Ibu tidak bergerak. Saya bingung. Apa maksud tidak bergerak itu. Bergegas saya gendong kedua anak saya ke mobil, dan saya memutuskan ke rs saat itu juga.
Sesampai di rumah sakit, saya melihat ada 5 perawat yang sedang menghandle Ibu. Ada yg menekan dadanya, ada yang mengukur ini itu. Sontak saya berteriak. Ibu sudah hilang nafas katanya, detak jantungnya pun tak ada. Tak henti kami mengucap dzikir, agar Ibu kembali seperti sedia kala. Dan stelah dipasang alat ini itu alhamdulillah.. detak jantungnya kembali.
Akhirnya tinggal seorang perawat saja yg dikamar Ibu, karena harus memompa jantung Ibu agar nafasnya ada. Karena nafas spontan Ibu sudah tidak ada. Ibu masih belum sadar. Dan kami memutuskan untuk pindah rumah sakit yang punya alat ventilator agar bisa memompa jantung Ibu.
Pukul 05.00 kami pindah rumah sakit, periksa ini itu lalu pukul 07.00 masuk ICU. Saya pikir ini sudah dititik aman. Saya pamit pulang kepada abang dan kakak karena ingin memandikan dan memberikn makan anak saya. Kebetulan memang kami tidak boleh masuk ke ruanh ICU. Hanya boleh menunggu diluar. Akhirnya saya pulang.
Sesampainya drumah, saya mandi, lalu memandikan anak saya dan juga memberi makan. Saya sudah minta kepada suami agar pukul 10.00 jemput saya untuk pergi ke rumah sakit. Pukul 09.30 abang saya menelvon "ibu sudah tidak ada"
Dunia saya runtuh. Belum pernah saya patah sepatah itu.
Saya belum sempat pamit padanya. Saya belum sempat minta maaf padanya. Saya belum sempat membuat memori indah untuk kami berdua. Saya belum sempat.. saya pikir hari esok akan masih ada. Saya pikir akan masih lama waktu saya bersamanya.
Komentar
Posting Komentar